Awal Pakuan Pajajaran
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian melemah. Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali, Kuningan, Jawa Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di antaranya. Selain diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal dari Kerajaan Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.
Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan. Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya dengan keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk.
Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus kekuasaan. Prabu Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah, akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun 1482.
Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha berkuasa, yakni tahun 1482.
Sumber Sejarah
Dari catatan-catatan sejarah yang ada, baik dari prasasti, naskah kuno, maupun catatan bangsa asing, dapatlah ditelusuri jejak kerajaan ini; antara lain mengenai wilayah kerajaan dan ibukota Pakuan Pajajaran. Mengenai raja-raja Kerajaan Sunda yang memerintah dari ibukota Pakuan Pajajaran, terdapat perbedaan urutan antara naskah-naskah Babad Pajajaran, Carita Parahiangan, dan Carita Waruga Guru.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
- Prasasti Batu Tulis, Bogor
- Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
- Prasasti Kawali, Ciamis
- Prasasti Rakyan Juru Pangambat
- Prasasti Horren
- Prasasti Astanagede
- Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
- Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
- Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
- Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu
- Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)
Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke 8-16. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar raja Pajajaran
- Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
- Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
- Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
- Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
- Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin dan anaknya, Maulana Yusuf
- Raga Mulya (1567 – 1579), dikenal sebagai Prabu Surya Kencana, memerintah dari PandeglangMaharaja Jayabhupati (Haji-Ri-Sunda)
- Rahyang Niskala Wastu Kencana
- Rahyang Dewa Niskala (Rahyang Ningrat Kencana)
- Sri Baduga MahaRaja
- Hyang Wuni Sora
- Ratu Samian (Prabu Surawisesa)
- dan Prabu Ratu Dewata.
Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian (kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang, mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang kerajaan
Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian, terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan Cimanuk (Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal, maling, prampok, dll)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
Kesimpulan
- Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang terletak di Parahyangan (Sunda).
- Sumber sejarahnya berupa prasati-prasati, tugu perjanjian, taman perburuan, kitab cerita, dan berita asing.
- Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja mengalami masa keemasan/ kejayaan dan Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten.
No comments:
Post a Comment