Airlangga lahir tahun 990, Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan
Bedahulu dari Wangsa Warmadewa, Ibunya bernama Mahendradatta dari Wangsa
Isyana dari kerajaan Medang.
Airlangga menikah dengan putri pamannya, yaitu Dharmawangsa Teguh di
Watan, ibu kota Kerajaan Medang (Maospati,Magetan Jatim). Ketika pesta
berlangsung, kota Watan diserbu Raja Wurawari yang menjadi sekutu
Kerajaan Sriwijaya. Kejadian ini tercatat dalam prasasti Pucangan,
penyerangan ini terjadi sekitar tahun 928 saka.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos
ke hutan pegunungan Wanagiri ditemani pembantunya Mpu Narotama. Saat itu
ia berumur 16 tahun, sejak kejadian itu ia mulai menjalani hidup
sebagai seorang pertapa. Bukti peninggalannya dapat dijumpai di Sendang
Made, Kudu, Jombang, Jatim. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga
didatangi oleh utusan rakyat yang memintanya membangun kembali kerajaan
Medang, karene kota Watan sudah hancur, ia membangun kota Watan Mas di
dekat Gunung Penanggungan.
Saat pertamakali ia naik tahta wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah
Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh
banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1023 Kerajaan
Sriwijaya yang menjadi musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra
Coladewa raja Colamandala dari India. Ini membuat Airlangga leluasa
menyiapkan diri untuk menakhlukkan pulau Jawa
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring
dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah
menyusun kekuatan untuk menegakkan kembalikekuasaan Wangsa Isnaya atas
pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut
prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga
Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti
Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah di Kahuripan
(Sidoarjo).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin, 1030 menakhlukkan
Wisnuprbhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda
raja Lewa. Pada tahun 1032, Airlangga dikalahkan oleh seorang raja
wanita dari Tulungagung, istana Watan Mas dihancurkan. Airlangga
terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan
membangun kota baru di Kahuripan, dalam tahun itu juga Raja Wurawari
dapat dikalahkan bersama Mpu Narotama. Terakhir tahun 1035, Airlangga
menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah
ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun
kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Pembangunan Kerajaan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini,
wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat.
Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat
perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta
dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga
Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan
hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke
Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah
ke Daha (Kediri).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan
demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam
prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabayasekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu
Kanwa menulis Arjuna Wiwaha, yang diadaptasi dari epic Mahabharata.
Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjunamengalahkan
Niwatakawancaka, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pembelahan kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta, ia bergelar Resi
Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Berdasarkan cerita
rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup
sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang,
Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya
bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar
Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia
sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa
pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal
tersebut.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala
hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau
pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti
Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Tokoh-tokoh Penting masa Airlangga
Mahendradatta, juga dikenal di Bali dengan sebutan Gunapriya Dharmapatni, adalah puteri raja Sri Makutawangsa wardhana dari Wangsa Isyana (Kerajaan Medang). Ia menikah dengan Udayana, raja Bali dariWangsa Warmadewa, yang kemudian memiliki beberapa orang putra, yaitu Airlangga yang kemudian menjadi raja di Jawa, dan Anak Wungsu yang kemudian menjadi raja di Bali
Mpu Narotama adalah pembantu Airlangga yang setia menemani sejak masa
pelarian sampai masa pemerintahan majikannya itu. Menurut prasasti
Pucangan, Airlangga dan Narotama berasal dari Bali. Keduanya datang ke Jawa tahun 1006.
Sanggramawijaya Tunggadewi adalah putri Airlangga yang menjadi pewaris takhta Kahuripan, namun memilih mengundurkan diri sebagai pertapa bergelar Dewi Kili Suci. Pada masa pemerintahan Airlangga, sejak kerajaan masih berpusat di Watan Mas sampai pindah ke Kahuripan, tokoh Sanggramawijaya menjabat sebagai rakryan mahamantri
alias putri mahkota. Gelar lengkapnya ialah Rakryan Mahamantri i Hino
Sanggramawijaya Dharmaprasada Tunggadewi. Nama ini terdapat dalam
prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang I (1035). Tokoh Dewi
Kili Suci dalam Cerita Panji dikisahkan sebagai sosok agung yang sangat
dihormati. Ia sering membantu kesulitan pasangan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, keponakannya.
Dewi Kili Suci juga dihubungkan dengan dongeng terciptanya Gunung Kelud.
Dikisahkan semasa muda ia dilamar oleh seorang manusia berkepala kerbau
bernama Mahesasura. Kili Suci bersedia menerima lamaran itu asalkan
Mahesasura mampu membuatkannya sebuah sumur raksasa.
Sumur raksasa pun tercipta berkat kesaktian Mahesasura. Namun sayang,
Mahesasura jatuh ke dalam sumur itu karena dijebak Kili Suci. Para
prajurit Kadiri atas perintah Kili Suci menimbun sumur itu dengan batu-batuan, Timbunan batu begitu banyak sampai menggunung, dan terciptalah Gunung Kelud. Oleh sebab itu, apabila Gunung Kelud meletus, daerah Kediri selalu menjadi korban, sebagai wujud kemarahan arwah Mahesasura.
Dewi Kili Suci juga terdapat dalam Babad Tanah Jawi sebagai putri sulung Resi Gentayu raja Koripan. Kerajaan Koripan kemudian dibelah dua, menjadi Janggala dan Kadiri, yang masing-masing dipimpin oleh adik Kili Suci, yaitu Lembu Amiluhur dan Lembu Peteng.
Kisah ini mirip dengan fakta sejarah, yaitu setelah Airlangga turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibagi dua, menjadi Kadiri yang dipimpin Sri Samarawijaya, serta Janggala yang dipimpin Mapanji Garasakan.
Pada masa pemerintahan Airlangga dan raja-raja sebelumnya, jabatan tertinggi sesudah raja adalah rakryan mahamantri. Jabatan ini identik dengan putra mahkota, sehingga pada umumnya dijabat oleh putra atau menantu raja.
Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan Airlangga sejak 1021 sampai 1035, yang menjabat sebagai rakryan mahamantri adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Sedangkan, pada prasasti Pucangan (1041) muncul nama baru, yaitu Samarawijaya sebagai rakryan mahamantri.
Sanggramawijaya Tunggadewi identik dengan putri sulung Airlangga dalam Serat Calon Arang yang mengundurkan diri menjadi pertapa bernama Dewi Kili Suci. Dalam kisah tersebut, Dewi Kili Suci diberitakan memiliki dua orang adik laki-laki. Dengan demikian, Samarawijaya dipastikan adalah adik Sanggramawijaya Tunggadewi.
Perang Saudara
Sebelum turun takhta tahun 1042, Airlangga dihadapkan pada masalah persaingan antara kedua putranya. Maka, ia pun membelah wilayah kerajaannya menjadi dua, yaitu Kadiri dan Janggala. Peristiwa ini diberitakan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon Arang, serta diperkuat oleh prasasti Turun Hyang (1044).
Dalam prasasti Turun Hyang, diketahui nama raja Janggala setelah pembelahan ialah Mapanji Garasakan. Nama raja Kadiri tidak disebutkan dengan jelas, namun dapat diperkirakan dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah menjabat sebagai putra mahkota.
Prasasti Turun Hyang tersebut merupakan piagam pengesahan anugerah Mapanji Garasakan tahun 1044 terhadap penduduk desa Turun Hyang yang setia membantu Janggala melawan Kadiri. Jadi, pembelahan kerajaan yang dilakukan oleh Airlangga terkesan sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya dan Mapanji Garasakan tetap saja berebut kekuasaan.
Adanya unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga.
Pembelahan kerajaan sepeninggal Airlangga tidak membuahkan hasil. Perang saudara tetap terjadi antara Garasakan raja Janggala melawan Sri Samarawijaya raja Kadiri. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala.
Pada tahun 1044 Garasakan menetapkan desa Turun Hyang sebagai sima
swatantra atau perdikan, karena para pemuka desa tersebut setia membantu
Janggala melawan Kadiri.
Pada tahun 1052 Garasakan memberi anugerah untuk desa Malenga karena
membantu Janggala mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Linggajaya
ini merupakan raja bawahan Kadiri. Piagam yang berkenaan dengan
peristiwa tersebut terkenal dengan nama prasasti Malenga.
Mpu Bharada muncul dalam Serat Calon Arang sebagai tokoh yang berhasil mengalahkan musuh Airlangga, yaitu Calon Arang, seorang janda sakti dari desa Girah.
Dikisahkan pula, Airlangga berniat turun takhta menjadi pendeta. Ia
kemudian berguru pada Mpu Bharada. Kedua putranya bersaing memperebutkan
takhta. Berhubung Airlangga juga putra sulung raja Bali, maka ia pun
berniat menempatkan salah satu putrnya di pulau itu.
Mpu Bharada dikirim ke Bali menyampaikan maksud tersebut. Dalam
perjalanan menyeberang laut, Mpu Bharada cukup dengan menumpang sehelai
daun. Sesampainya di Bali permintaan Airlangga yang disampaikan Mpu
Bharada ditolak oleh Mpu Kuturan, yang berniat mengangkat cucunya
sebagai raja Bali.
Berdasarkan fakta sejarah, raja Bali saat itu (1042) adalah Anak Wungsu adik Airlangga sendiri.
Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya demi perdamaian kedua putranya. Menurut Nagarakretagama, Mpu Bharada bertugas menetapkan batas antara kedua belahan negara.
Dikisahkan, Mpu Bharada terbang sambil mengucurkan air kendi. Ketika
sampai dekat desa Palungan, jubah Mpu Bharada tersangkut ranting pohon
asam. Ia marah dan mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil. Oleh sebab
itu, penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal Pandak, yang artinya
“asem pendek”.
Desa Kamal Pandak pada zaman Majapahit menjadi lokasi pendirian Prajnaparamitapuri, yaitu candi pendharmaan arwah Gayatri, istri Raden Wijaya.
Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala
berdasarkan cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang
siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan.
Menurut prasasti Mahaksobhya yang diterbitkan Kertanagara raja Singhasari tahun 1289, kutukan Mpu Bharada sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan kedua wilayah tersebut.
Nagarakretagama juga menyebutkan, Mpu Bharada adalah pendeta Buddha
yang mendapat anugerah tanah desa Lemah Citra atau Lemah Tulis. Berita
ini cukup unik karena ia bisa menjadi guru spiritual Airlangga yang
menganut agama Hindu Wisnu.
Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut. ia adalah seorang janda pengguna ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit. Calon Arang mempunyai seorang puteri bernama Ratna Manggali,
yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena
orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang dihadapi puterinya,
Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas dendam dengan menculik
seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa ke sebuah kuil untuk
dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya, banjir besar melanda
desa tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.
Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu Baradah
untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan seorang
prajurit bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya
menikah besar-besaran dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh
malam, dan keadaan pun kembali normal.
Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada
suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya
kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang mengetahui bahwa bukunya telah
dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu Baradah.
Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan, desa tersebut pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.
Kesimpulan
Airlangga adalah anak dari Udayana dari Wangsa Warmadewa, Ibunya bernama
Mahendradatta dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang. Airlangga
meempunya dua orang adik, yaitu Marakata yang kemudian menjadi raja
Bali, dan Anak Wungsu yang menggantikan Marakata, Airlangga menikah
dengan putri pamannya, yaitu Dharmawangsa Teguh di Watan, ibu kota
Kerajaan Medang. Tetapi saat pernikahan berlangsung terjadi penyerangan
besar dari raja Wurawari.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos
ke hutan pegunungan Wanagiri ditemani pembantunya Mpu Narotama. Saat itu
ia berumur 16 tahun, sejak kejadian itu ia mulai menjalani hidup
sebagai seorang pertapa.
Diakhir masa pemerintahannya ia membagi kerajaanya menjadi dua yaitu
Kadiri yang berpusat di Daha, dan Jenggala yang berpusat di Kahuripan.
Dalam hal pemerintahan ia di bantu oleh Mpu Bharada yang juga sebagai
gurunya, Mpu Bharada juga yang menjadi panutan ketika Airlangga membelah
kerajaannya menjadi dua.
No comments:
Post a Comment