Navbar3

Search This Blog

1 Perhatian ... !

Terimakasih telah Berkunjung ke blog saya Dan, MemFollow Blog Saya Disini.

Monday 25 February 2013

Kerajaan Kalingga

Mengenai keberadaan kerajaan Kalingga sampai saat ini menjadi sebuah perdebatan yang tidak ada akhirnya. Sebagian orang meyakini bahwa Kerajaan Kalingga berada di India dan sebagian lagi mengatakan ada di Pulau Jawa (Indonesia). Terlepas dari semua itu, yang jelas bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa di Jawa pernah berdiri sebuah kerajaan bernama Ho-ling (berdasarkan sumber berita Cina) yang bertempat di Cho-po (Jawa). Selain kronik Cina, sumber yang memuat data mengenai keberadaan kerajaan ini adalah Prasasti Tuk Mas. Pendapat bahwa yang dimaksud dengan kerajaan Ho-ling adalah kerajaan Kalingga yang berada di Jawa Tengah dikemukakan oleh Prof. Krom.

Ratu Shima yang Tegas

Berdasarkan sumber dari Dinasti Tang (618 – 908), Kerajaan Ho-ling diperkirakan terletak di Cho-po (Jawa, tepatnya jawa Tengah) dan keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak abad ke-6 Masehi. Kronik zaman Dinasti Tang menyebutkan bahwa pada 674 Kerajaan Ho-ling diperintah oleh Ratu Shima (sebagian menulisnya Sima), yang dikenal sebagai raja yang patuh menjalankan hukum kerajaan; bahkan diceritakan, barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.

Disebutkan bahwa ratu ini seorang pemimpin yang tegas, jujur dan bijaksana, serta melaksanakan hukum dengan tegas. Ketegasannya dalam menerapkan keadilan ditampilkan dengan cara menguji kejujuran rakyat Kanjuruhan. Diceritakan, ada seorang utusan yang datang dari Arab dan menaburkan uang di tengah jalan. Selama hampir tiga tahun tidak ada yang berani mengambil uang tersebut. Suatu hari putra mahkota menyentuh uang tersebut dengan kakinya. Mendengar berita tersebut Ratu sangat marah dan memerintahkan agar putra mahkota dipenggal lehernya. Hukuman penggal leher akhirnya dibatalkan setelah ada permohonan dari para pembesar kerajaan. Menurut para pembesar kerajaan yang menyentuh uang tersebut adalah kakinya, oleh karena itu yang dipotong bukan bukan leher melainkan kakinya. Peristiwa tersebut memperlihatkan bahwa raja dan rakyat Kalingga merupakan negara yang taat hukum, yang dipakai sebagai pedoman hidup bagi mereka dalam bernegara dan beragama. Dengan kepatuhan terhadap hukum, kerajaan Kalingga mendapatkan ketentraman dan kemakmuran.

Daerah wilayah kekuasaan Kerajaan Kalingga meliputi 28 wilayah. Menurut Rouffaer, dalam menjalankan pemerintahannya raja dibantu oleh 32 orang menteri, empat orang duduk di pusat kerajaan dan 28 orang lainnya berada di daerah-daerah.

Perutusan ke Negeri Cina



Selanjutnya kronik Dinasti Tang menyebutkan bahwa Kerajaan Ho-ling mengirimkan utusan ke negeri Cina pada 647 sampai 666. Kemudian kerajaan ini mengirim utusan lagi pada 818 dan sesudah itu diberitakan tidak pernah mengirim utusan lagi ke Cina. Pengiriman utusan dari Ho-ling ke Cinta diperkirakan merupakan sebuah bentuk diplomasi antardua kerajaan. Seperti diketahui bahwa pada abad ke-7 dan seterusnya, dinasti-dinasti Cina senantiasa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Pengiriman duta Ho-ling ke Cina menunjukkan bahwa orang-orang Nusantara sudah mampu mengarungi samudra dan laut lepas. Kemampuan mengarungi samudra tentunya harus dibekali oleh kemampuan lainnya seperti ilmu pembuatan kapal, ilmu perbintangan atau astronomi, cara mengawetkan makanan, dan lain-lain. Hal ini menjadi bekal kuat bagi orang-orang Nusantara untuk menjalin aktivitas ekonomi dan menggalang kekuatan politik dengan bangsa atau kerajaan lain di seberang laut.

Pendeta Buddha Jnanabhadra

Berita dari seorang pendeta Buddha dari Cina bernama I-Tsing menyatakan bahwa pada 664 seorang bernama Hwi-ning datang ke Ho-ling dan tinggal di tempat itu selama tiga tahun (664-667). Dengan bantuan seorang pendeta Ho-ling yang bernama Yoh-na-po-t’o-lo (kemungkinnan besar pelafalan Cina untuk Jnanabhadra) ia menerjemahkan kitab suci Buddha Hinayana. Nama Jnanabhadra sendiri berasal dari sebuah prasasti bertarikh 650 Masehi yang ditulis dengan huruf Pallawa berbahasa Sansekerta, ditemukan di Tuk Mas di Desa Dakawu (kini termasuk Grabag, Magelang) di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah. Isi prasasti adalah pujian kepada mata air yang keluar dari gunung yang menjadikan sebuah sungai bagaikan Sungai Gangga. Di atas tulisan prasasti tersebut dipahatkan gambar leksana dan alat-alat upacara berupa cakra, sangkha, trisula, kundi, kapak, gunting, dolmas, stap, dan empat bunga fatma. Benda-benda ini jelas merupakan sembahan penganut Siwa. Berikut terjelamahan prasasti tersebut:

Mata air yang airnya jernih dan dingin ini ada yang keluar dari batu atau pasir ke tempat yang banyak bunga tanjung putih, serta mengalir ke sana-sini. Sesudah menjadi suatu kemungkinan mengalir seperti sungai Gangga.

Kehidupan Masyarakat



Kronik Dinasti Tang memberitakan bahwa daerah yang disebut Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak, dan gading gajah. Penduduk membuat benteng-benteng dari kayu dan rumah mereka beratap daun kelapa. Mereka sudah pandai membuat minuman dari air bunga kelapa (mungkin tuak). Bila makan mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit, melainkan menggunakan tangan.

Keberadaan kerajaan Kalingga tentunya tidak akan terlepas dari keberadaan Ratu Shima, yang memerintah sekitar tahun 674 M. Dalam memerintah Ratu Sima digambarkan sebagai pemimpin yang “keras” demi menjalankan hukum kerajaan. Kerajaannya dikelilingi oleh pagar kayu. Tempat tinggal raja berupa rumah tingkat yang beratap, tempat duduk raja berupa paterana gading.


readmore...

Kerajaan Kahirupan Dan Raja Airlangga

Sejarah kerajaan kahuripan, sejarah raja airlanggaAirlangga adalah pendiri Kerajaan Kahuripan, yang memerintah tahun 1009-1042 dengan gelar Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Sebagai seorang raja, ia memerintahkan Mpu Kanwa untuk mengubah Kakawin Arjunawiwaha yang menggambarkan keberhasilannya dalam peperangan. Di akhir masa pemerintahannya, kerajaannya dibelah dua menjadi Kerajaan Kadiri dan Kerajaan Jenggala, bagi kedua putranya.
Airlangga lahir tahun 990, Ayahnya bernama Udayana, raja Kerajaan Bedahulu dari Wangsa Warmadewa, Ibunya bernama Mahendradatta dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang.
Airlangga menikah dengan putri pamannya, yaitu Dharmawangsa Teguh di Watan, ibu kota Kerajaan Medang (Maospati,Magetan Jatim). Ketika pesta berlangsung, kota Watan diserbu Raja Wurawari yang menjadi sekutu Kerajaan Sriwijaya. Kejadian ini tercatat dalam prasasti Pucangan, penyerangan ini terjadi sekitar tahun 928 saka.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan Wanagiri ditemani pembantunya Mpu Narotama. Saat itu ia berumur 16 tahun, sejak kejadian itu ia mulai menjalani hidup sebagai seorang pertapa. Bukti peninggalannya dapat dijumpai di Sendang Made, Kudu, Jombang, Jatim. Setelah tiga tahun hidup di hutan, Airlangga didatangi oleh utusan rakyat yang memintanya membangun kembali kerajaan Medang, karene kota Watan sudah hancur, ia membangun kota Watan Mas di dekat Gunung Penanggungan.
Saat pertamakali ia naik tahta wilayah kerajaannya hanya meliputi daerah Sidoarjo dan Pasuruan saja, karena sepeninggal Dharmawangsa Teguh banyak daerah bawahan yang melepaskan diri. Pada tahun 1023 Kerajaan Sriwijaya yang menjadi musuh besar Wangsa Isyana dikalahkan Rajendra Coladewa raja Colamandala dari India. Ini membuat Airlangga leluasa menyiapkan diri untuk menakhlukkan pulau Jawa
Sejak tahun 1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya seiring dengan melemahnya Sriwijaya. Mula-mula yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk menegakkan kembalikekuasaan Wangsa Isnaya atas pulau Jawa. Namun awalnya tidak berjalan dengan baik, karena menurut prasasti Terep (1032), Watan Mas kemudian direbut musuh, sehingga Airlangga melarikan diri ke desa Patakan. Berdasarkan prasasti Kamalagyan (1037), ibu kota kerajaan sudah pindah di Kahuripan (Sidoarjo).
Airlangga pertama-tama mengalahkan Raja Hasin, 1030 menakhlukkan Wisnuprbhawa raja Wuratan, Wijayawarma raja Wengker, kemudian Panuda raja Lewa. Pada tahun 1032, Airlangga dikalahkan oleh seorang raja wanita dari Tulungagung, istana Watan Mas dihancurkan. Airlangga terpaksa melarikan diri ke desa Patakan ditemani Mapanji Tumanggala, dan membangun kota baru di Kahuripan, dalam tahun itu juga Raja Wurawari dapat dikalahkan bersama Mpu Narotama. Terakhir tahun 1035, Airlangga menumpas pemberontakan Wijayawarma raja Wengker yang pernah ditaklukannya dulu. Wijayawarma melarikan diri dari kota Tapa namun kemudian mati dibunuh rakyatnya sendiri.
Pembangunan Kerajaan
Kerajaan yang baru dengan pusatnya di Kahuripan, Sidoarjo ini, wilayahnya membentang dari Pasuruan di timur hingga Madiun di barat. Pantai utara Jawa, terutama Surabaya dan Tuban, menjadi pusat perdagangan yang penting untuk pertama kalinya. Airlangga naik tahta dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali. Menurut prasasti Pamwatan (1042), pusat kerajaan kemudian pindah ke Daha (Kediri).
Setelah keadaan aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain.
Membangun Sri Wijaya Asrama tahun 1036.
Membangun bendungan Waringin Sapta tahun 1037 untuk mencegah banjir musiman.
Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara Kali Brantas, dekat Surabayasekarang.
Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
Meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Memindahkan ibu kota dari Kahuripan ke Daha
Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya, yaitu sebagai pelindung agama Hindu Syiwa dan Buddha.
Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra. Tahun 1035 Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha, yang diadaptasi dari epic Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjunamengalahkan Niwatakawancaka, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan Wurawari.
Pembelahan kerajaan
Pada tahun 1042 Airlangga turun takhta menjadi pendeta, ia bergelar Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana. Berdasarkan cerita rakyat, putri mahkota Airlangga menolak menjadi raja dan memilih hidup sebagai pertapa bernama Dewi Kili Suci. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang (1035) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Menurut Serat Calon Arang, Airlangga kemudian bingung memilih pengganti karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Mengingat dirinya juga putra raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putranya di pulau itu. Gurunya yang bernama Mpu Bharada berangkat ke Bali mengajukan niat tersebut namun mengalami kegagalan. Fakta sejarah menunjukkan Udayana digantikan putra keduanya yang bernama Marakata sebagai raja Bali, dan Marakata kemudian digantikan adik yang lain yaitu Anak Wungsu.
Airlangga lalu membagi dua wilayah kerajaannya. Mpu Bharada ditugasi menetapkan perbatasan antara bagian barat dan timur. Peristiwa pembelahan ini tercatat dalam Serat Calon Arang, Nagarakretagama, dan prasasti Turun Hyang II. Maka terciptalah dua kerajaan baru. Kerajaan barat disebut Kadiri berpusat di kota baru, yaitu Daha, diperintah oleh Sri Samarawijaya. Sedangkan kerajaan timur disebut Janggala berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan, diperintah oleh Mapanji Garasakan.
Dalam prasasti Pamwatan, 20 November 1042, Airlangga masih bergelar Maharaja, sedangkan dalam prasasti Gandhakuti, 24 November 1042, ia sudah bergelar Resi Aji Paduka Mpungku. Dengan demikian, peristiwa pembelahan kerajaan diperkirakan terjadi di antara kedua tanggal tersebut.
Tidak diketahui dengan pasti kapan Airlangga meninggal. Prasasti Sumengka (1059) peninggalan Kerajaan Janggala hanya menyebutkan, Resi Aji Paduka Mpungku dimakamkan di tirtha atau pemandian. Kolam pemandian yang paling sesuai dengan berita prasasti Sumengka adalah Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan. Pada kolam tersebut ditemukan arca Wisnu disertai dua dewi. Berdasarkan prasasti Pucangan (1041) diketahui Airlangga adalah penganut Hindu Wisnu yang taat. Maka, ketiga patung tersebut dapat diperkirakan sebagai lambang Airlangga dengan dua istrinya, yaitu ibu Sri Samarawijaya dan ibu Mapanji Garasakan.
Tokoh-tokoh Penting masa Airlangga
Mahendradatta, juga dikenal di Bali dengan sebutan Gunapriya Dharmapatni, adalah puteri raja Sri Makutawangsa wardhana dari Wangsa Isyana (Kerajaan Medang). Ia menikah dengan Udayana, raja Bali dariWangsa Warmadewa, yang kemudian memiliki beberapa orang putra, yaitu Airlangga yang kemudian menjadi raja di Jawa, dan Anak Wungsu yang kemudian menjadi raja di Bali
Mpu Narotama adalah pembantu Airlangga yang setia menemani sejak masa pelarian sampai masa pemerintahan majikannya itu. Menurut prasasti Pucangan, Airlangga dan Narotama berasal dari Bali. Keduanya datang ke Jawa tahun 1006.
Sanggramawijaya Tunggadewi adalah putri Airlangga yang menjadi pewaris takhta Kahuripan, namun memilih mengundurkan diri sebagai pertapa bergelar Dewi Kili Suci. Pada masa pemerintahan Airlangga, sejak kerajaan masih berpusat di Watan Mas sampai pindah ke Kahuripan, tokoh Sanggramawijaya menjabat sebagai rakryan mahamantri alias putri mahkota. Gelar lengkapnya ialah Rakryan Mahamantri i Hino Sanggramawijaya Dharmaprasada Tunggadewi. Nama ini terdapat dalam prasasti Cane (1021) sampai prasasti Turun Hyang I (1035). Tokoh Dewi Kili Suci dalam Cerita Panji dikisahkan sebagai sosok agung yang sangat dihormati. Ia sering membantu kesulitan pasangan Panji Inu Kertapati dan Galuh Candrakirana, keponakannya.
Dewi Kili Suci juga dihubungkan dengan dongeng terciptanya Gunung Kelud. Dikisahkan semasa muda ia dilamar oleh seorang manusia berkepala kerbau bernama Mahesasura. Kili Suci bersedia menerima lamaran itu asalkan Mahesasura mampu membuatkannya sebuah sumur raksasa.
Sumur raksasa pun tercipta berkat kesaktian Mahesasura. Namun sayang, Mahesasura jatuh ke dalam sumur itu karena dijebak Kili Suci. Para prajurit Kadiri atas perintah Kili Suci menimbun sumur itu dengan batu-batuan, Timbunan batu begitu banyak sampai menggunung, dan terciptalah Gunung Kelud. Oleh sebab itu, apabila Gunung Kelud meletus, daerah Kediri selalu menjadi korban, sebagai wujud kemarahan arwah Mahesasura.
Dewi Kili Suci juga terdapat dalam Babad Tanah Jawi sebagai putri sulung Resi Gentayu raja Koripan. Kerajaan Koripan kemudian dibelah dua, menjadi Janggala dan Kadiri, yang masing-masing dipimpin oleh adik Kili Suci, yaitu Lembu Amiluhur dan Lembu Peteng.
Kisah ini mirip dengan fakta sejarah, yaitu setelah Airlangga turun takhta tahun 1042, wilayah kerajaan dibagi dua, menjadi Kadiri yang dipimpin Sri Samarawijaya, serta Janggala yang dipimpin Mapanji Garasakan.
Pada masa pemerintahan Airlangga dan raja-raja sebelumnya, jabatan tertinggi sesudah raja adalah rakryan mahamantri. Jabatan ini identik dengan putra mahkota, sehingga pada umumnya dijabat oleh putra atau menantu raja.
Dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan Airlangga sejak 1021 sampai 1035, yang menjabat sebagai rakryan mahamantri adalah Sanggramawijaya Tunggadewi. Sedangkan, pada prasasti Pucangan (1041) muncul nama baru, yaitu Samarawijaya sebagai rakryan mahamantri.
Sanggramawijaya Tunggadewi identik dengan putri sulung Airlangga dalam Serat Calon Arang yang mengundurkan diri menjadi pertapa bernama Dewi Kili Suci. Dalam kisah tersebut, Dewi Kili Suci diberitakan memiliki dua orang adik laki-laki. Dengan demikian, Samarawijaya dipastikan adalah adik Sanggramawijaya Tunggadewi.
Perang Saudara
Sebelum turun takhta tahun 1042, Airlangga dihadapkan pada masalah persaingan antara kedua putranya. Maka, ia pun membelah wilayah kerajaannya menjadi dua, yaitu Kadiri dan Janggala. Peristiwa ini diberitakan dalam Nagarakretagama dan Serat Calon Arang, serta diperkuat oleh prasasti Turun Hyang (1044).
Dalam prasasti Turun Hyang, diketahui nama raja Janggala setelah pembelahan ialah Mapanji Garasakan. Nama raja Kadiri tidak disebutkan dengan jelas, namun dapat diperkirakan dijabat oleh Samarawijaya, karena sebelumnya ia sudah menjabat sebagai putra mahkota.
Prasasti Turun Hyang tersebut merupakan piagam pengesahan anugerah Mapanji Garasakan tahun 1044 terhadap penduduk desa Turun Hyang yang setia membantu Janggala melawan Kadiri. Jadi, pembelahan kerajaan yang dilakukan oleh Airlangga terkesan sia-sia belaka, karena kedua putranya, yaitu Samarawijaya dan Mapanji Garasakan tetap saja berebut kekuasaan.
Adanya unsur Teguh dalam gelar Samarawijaya, menunjukkan kalau ia adalah putra Airlangga yang dilahirkan dari putri Dharmawangsa Teguh. Sedangkan Mapanji Garasakan adalah putra dari istri kedua. Dugaan bahwa Airlangga memiliki dua orang istri didasarkan pada penemuan dua patung wanita pada Candi Belahan di lereng Gunung Penanggungan, yang diyakini sebagai situs pemakaman Airlangga.
Pembelahan kerajaan sepeninggal Airlangga tidak membuahkan hasil. Perang saudara tetap terjadi antara Garasakan raja Janggala melawan Sri Samarawijaya raja Kadiri. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala. Pada tahun 1044 Garasakan menetapkan desa Turun Hyang sebagai sima swatantra atau perdikan, karena para pemuka desa tersebut setia membantu Janggala melawan Kadiri.
Pada tahun 1052 Garasakan memberi anugerah untuk desa Malenga karena membantu Janggala mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Linggajaya ini merupakan raja bawahan Kadiri. Piagam yang berkenaan dengan peristiwa tersebut terkenal dengan nama prasasti Malenga.
Mpu Bharada muncul dalam Serat Calon Arang sebagai tokoh yang berhasil mengalahkan musuh Airlangga, yaitu Calon Arang, seorang janda sakti dari desa Girah.
Dikisahkan pula, Airlangga berniat turun takhta menjadi pendeta. Ia kemudian berguru pada Mpu Bharada. Kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Berhubung Airlangga juga putra sulung raja Bali, maka ia pun berniat menempatkan salah satu putrnya di pulau itu.
Mpu Bharada dikirim ke Bali menyampaikan maksud tersebut. Dalam perjalanan menyeberang laut, Mpu Bharada cukup dengan menumpang sehelai daun. Sesampainya di Bali permintaan Airlangga yang disampaikan Mpu Bharada ditolak oleh Mpu Kuturan, yang berniat mengangkat cucunya sebagai raja Bali.
Berdasarkan fakta sejarah, raja Bali saat itu (1042) adalah Anak Wungsu adik Airlangga sendiri.
Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya demi perdamaian kedua putranya. Menurut  Nagarakretagama, Mpu Bharada bertugas menetapkan batas antara kedua belahan negara.
Dikisahkan, Mpu Bharada terbang sambil mengucurkan air kendi. Ketika sampai dekat desa Palungan, jubah Mpu Bharada tersangkut ranting pohon asam. Ia marah dan mengutuk pohon asam itu menjadi kerdil. Oleh sebab itu, penduduk sekitar menamakan daerah itu Kamal Pandak, yang artinya “asem pendek”.
Desa Kamal Pandak pada zaman Majapahit menjadi lokasi pendirian Prajnaparamitapuri, yaitu candi pendharmaan arwah Gayatri, istri Raden Wijaya.
Selesai menetapkan batas Kerajaan Kadiri dan Janggala berdasarkan cucuran air kendi, Mpu Bharada mengucapkan kutukan, barang siapa berani melanggar batas tersebut hidupnya akan mengalami kesialan. Menurut prasasti Mahaksobhya yang diterbitkan Kertanagara raja Singhasari tahun 1289, kutukan Mpu Bharada sudah tawar berkat usaha Wisnuwardhana menyatukan kedua wilayah tersebut.
Nagarakretagama juga menyebutkan, Mpu Bharada adalah pendeta Buddha yang mendapat anugerah tanah desa Lemah Citra atau Lemah Tulis. Berita ini cukup unik karena ia bisa menjadi guru spiritual Airlangga yang menganut agama Hindu Wisnu.
Calon Arang adalah seorang tokoh dalam cerita rakyat Jawa dan Bali dari abad ke-12. Tidak diketahui lagi siapa yang mengarang cerita ini. Salinan teks Latin yang sangat penting berada di Belanda, yaitu di Bijdragen Koninklijke Instituut. ia adalah seorang janda pengguna ilmu hitam yang sering merusak hasil panen para petani dan menyebabkan datangnya penyakit. Calon Arang mempunyai seorang puteri bernama Ratna Manggali, yang meskipun cantik, tidak dapat mendapatkan seorang suami karena orang-orang takut pada ibunya. Karena kesulitan yang dihadapi puterinya, Calon Arang marah dan ia pun berniat membalas dendam dengan menculik seorang gadis muda. Gadis tersebut ia bawa ke sebuah kuil untuk dikorbankan kepada Dewi Durga. Hari berikutnya, banjir besar melanda desa tersebut dan banyak orang meninggal dunia. Penyakit pun muncul.
Raja Airlangga yang mengetahui hal tersebut kemudian meminta bantuan penasehatnya, Empu Baradah untuk mengatasi masalah ini. Empu Baradah lalu mengirimkan seorang prajurit bernama Empu Bahula untuk dinikahkan kepada Ratna. Keduanya menikah besar-besaran dengan pesta yang berlangsung tujuh hari tujuh malam, dan keadaan pun kembali normal.
Calon Arang mempunyai sebuah buku yang berisi ilmu-ilmu sihir. Pada suatu hari, buku ini berhasil ditemukan oleh Bahula yang menyerahkannya kepada Empu Baradah. Saat Calon Arang mengetahui bahwa bukunya telah dicuri, ia menjadi marah dan memutuskan untuk melawan Empu Baradah. Tanpa bantuan Dewi Durga, Calon Arang pun kalah. Sejak ia dikalahkan, desa tersebut pun aman dari ancaman ilmu hitam Calon Arang.

Kesimpulan
Airlangga adalah anak dari Udayana dari Wangsa Warmadewa, Ibunya bernama Mahendradatta dari Wangsa Isyana dari kerajaan Medang. Airlangga meempunya dua orang adik, yaitu Marakata yang kemudian menjadi raja Bali, dan Anak Wungsu yang menggantikan Marakata, Airlangga menikah dengan putri pamannya, yaitu Dharmawangsa Teguh di Watan, ibu kota Kerajaan Medang. Tetapi saat pernikahan berlangsung terjadi penyerangan besar dari raja Wurawari.
Dalam serangan itu, Dharmawangsa Teguh tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan Wanagiri ditemani pembantunya Mpu Narotama. Saat itu ia berumur 16 tahun, sejak kejadian itu ia mulai menjalani hidup sebagai seorang pertapa.
Diakhir masa pemerintahannya ia membagi kerajaanya menjadi dua yaitu Kadiri yang berpusat di Daha, dan Jenggala yang berpusat di Kahuripan. Dalam hal pemerintahan ia di bantu oleh Mpu Bharada yang juga sebagai gurunya, Mpu Bharada juga yang menjadi panutan ketika Airlangga membelah kerajaannya menjadi dua.
readmore...